“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan kamu dalam hal yang diharamkannya.” (HR. Bukhari)
Kemanjuran dan kenyataan empirik ataupun pengalaman nyata sesuatu tidak otomatis menjadi bukti kebenarannya, sebab hal itu boleh jadi merupakan ujian iman, istidraj (perangkap Allah bagi orang-orang yang dimurkai-Nya melalui keberhasilan), atau sebenarnya adanya ‘kesembuhan’ itu lebih disebabkan karena sugesti, obsesi, atau ilusi dan bukan sesuatu yang hakiki. Hal itu sebagaimana pengalaman empiris sebelumnya dari beberapa sahabat yang menggunakan khamer untuk diminum sebagai pengobatan, maka nabi melarangnya dengan menegaskan: “Sesungguhnya ia bukannya obat melainkan penyakit.” (HR.Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi) Bahkan dalam riwayat lain Nabi justru mendo’akan orang yang melakukan pengobatan haram tersebut agar Allah tidak menyembuhkannya.(HR.As-Suyuthi)
Dengan demikian, jika orang yang dianggap pintar tersebut sebenarnya adalah orang shalih, taat ibadah, akidahnya lurus dan tidak komersial serta pengobatannya sesuai dengan ketentuan tersebut di atas, maka hal itu dibolehkan dengan tetap meyakini bahwa yang memberikan kesembuhan adalah Allah melalui perantaraan doa ikhlas dari orang shalih maupun diri sendiri berdasarkan doa dan ayat-ayat al-Qur’an.
0 komentar:
Posting Komentar