Artikel ini juga bisa dibaca di website Jakarta Butuh Revolusi Budaya.
Benarkah bangsa Indonesia adalah bangsa yang tidak suka membaca? Pernahkah terpikir oleh anda bahwa menghabiskan waktu di perpustakaan adalah hal yang membosankan? Apakah anda meluangkan waktu setiap harinya untuk membaca? Membaca yang dimaksud di sini jelas bukan berarti membaca komik maupun novel romantis, melainkan buku yang kaya akan ilmu pengetahuan (contoh: buku akademis dan biografi) dan koran.
Sewaktu kecil, kita semua tentu tak asing dengan kalimat “buku adalah jendela dunia”, kita diajarkan bahwa manfaat dari membaca itu sangat besar. Sayangnya, kita seringkali lebih memberi porsi yang lebih besar bagi bacaan non-akademis daripada bacaan akademis. Kita tahan menyelesaikan membaca Harry Potter yang tebalnya lebih dari 800 halaman dalam 1-2 hari, sementara untuk membaca 1 bab saja dari buku akademis saja kita bisa menghabiskan waktu berminggu-minggu. Porsi yang jauh lebih besar juga kita berikan kepada kegiatan lain, seperti bermain playstation, yang tidak memberikan manfaat lain selain hiburan. Lantas apa hubungan antara membaca dengan berinvestasi?
Investasi dalam ilmu ekonomi memiliki arti suatu kegiatan menanamkan sejumlah uang ke perusahaan tertentu dengan ekspektasi keuntungan di masa depan. Kegiatan berinvestasi jelas dapat kita asosiasikan dengan kegiatan membaca. Menanam kita artikan sebagai menyerap, uang kita terjemahkan sebagai pengetahuan dari buku, dan perusahaan kita terjemahkan sebagai kepala kita.
Banyak sekali cerita menakjubkan tentang orang-orang yang menginvestasikan ilmu pengetahuan ke dalam kepalanya. Yang paling saya ingat dengan jelas adalah cerita seorang dealer koran yang tidak mengikuti jenjang pendidikan tinggi yang tampil acara Who Wants to be a Millionaire? Indonesia. Beliau dengan cerdasnya menjawab berbagai pertanyaan sulit yang diajukan oleh Tantowi Yahya hingga akhirnya dia menyerah beberapa level menjelang pertanyaan terakhir. Beliau bahkan mengetahui nama kapal yang dipergunakan oleh Charles Darwin sewaktu meneliti ke kepulauan Galapagos. Tantowi Yahya pun bertanya mengenai rahasia kehebatan dia menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit itu. Jawabannya simpel saja, “saya suka sekali membaca koran-koran yang ada di tempat saya”.
Apabila orang itu bisa meluangkan waktunya untuk berinvestasi ilmu pengetahuan, mengapa kita tidak? Berjuta alasan untuk tidak membaca buku-buku seperti itu rasanya gampang sekali disebutkan, mulai dari tidak adanya waktu sampai mahalnya biaya yang diperlukan.
Sekarang mari kita hitung berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membaca.
Mari kita asumsikan, satu buku komik terdiri dari 100 halaman dan untuk membaca per-halamannya kita membutuhkan 3-4 detik. Satu buku komik dapat kita lahap dalam waktu kurang lebih 30-40 menit. Kita asumsikan lagi, satu novel terdiri dari 250 halaman dan per-halamannya terdiri dari 30 baris. Kita membutuhkan 1 detik untuk membaca satu baris. Sehingga, satu novel dapat kita lahap dalam waktu kurang lebih 125 menit. Sekarang kita asumsikan bahwa dalam seminggu seorang remaja putri dapat melahap 7 komik dan 3 novel, sehingga ia menghabiskan sekitar 6 jam per-minggu untuk buku-buku non-akademik.
Sekarang kita asumsikan bahwa satu buku akademik terdiri dari 250 halaman, yang per-halamannya memuat 30 baris. Waktu yang dibutuhkan untuk membaca per-halamannya jelas lebih lama, karena harus disertai usaha pemahaman yang mendalam. Separah-parahnya, seorang remaja putri yang sama mampu membaca satu halaman buku akademik selama 2 menit. Praktis ia membutuhkan 4 jam untuk membaca buku tersebut. Jika kita asumsikan bahwa 6 jam di perhitungan pertama di atas adalah waktu yang bisa ia pergunakan untuk membaca dalam seminggu, jika ia mau mengurangi porsi novel dan komik yang dibacanya menjadi setengahnya saja, selambat-lambatnya kurang lebih dalam 1 minggu ia bisa menyelesaikan buku akademis tersebut. Dalam sebulan ia bisa membaca 4 buku akademis, dan 48 dalam setahun. Sungguh suatu jumlah yang lumayan, kendala yang tersisa hanyalah ketiadaan keinginan pribadi untuk membaca buku seperti itu. Memang perlu diakui bahwa tidak semua orang seperti Thomas Jefferson, Presiden ke-3 Amerika Serikat yang berkata:
I can’t live without books
Alasan yang juga lazim digunakan untuk menolak membaca adalah mahalnya harga suatu buku dan ketiadaan perpustakaan publik dalam jumlah yang memadai. Kita tentu tahu bahwa pemerintah dalam jangka waktu dekat tidak mampu mengurangi harga kertas, sehingga turunnya harga buku secara signifikan jelas tidak bisa diharapkan. Namun, kita tentu tahu bahwa ada perpustakaan di sekolah kita dan universitas kita. Selain itu, kita juga harus tahu bahwa Gramedia atau toko buku lainnya sebenarnya sudah menjelma menjadi perpustakaan publik. Opsi terbaik memang jelas tetap membeli buku itu. Beberapa dari kita bisa membeli baju, celana, aksesoris,ataupun sepatu baru setiap bulannya. Mengapa tidak menyisihkannya untuk membeli buku? Buku seharga 100 ribu tidaklah mahal, baju dengan harga yang sama bisa dibilang agak mahal. Saya jadi teringat seorang teman yang menertawakan saya karena membeli buku seharga 80 ribu, padahal dia membeli jaket seharga 400 ribu.
Ada satu hal penting yang membedakan berinvestasi di perusahaan dan berinvestasi di kepala. Berinvestasi di perusahaan jelas memiliki resiko kerugian, sementara berinvestasi di kepala anda jelas tidak memiliki resiko kerugian, bahkan menghasilkan keuntungan luar biasa bagi hidup anda. Lantas, kenapa ragu lagi? Mari lebih giat membaca!!
KATA ORANG SIH GUE INI GANTENG,,,
APA LAGI KALAU KATE MAKNYE SI RASYID,,
PAPA GUE MEMANG GANTENG DARI SONONYE.....
TUH,,,
KETULARAN DECH AME GUE,,
Namun sebaliknya jika ‘orang pintar’ tersebut tidak shalih dan diragukan akidah serta keterbebasannya dengan dunia syirik ataupun jin, meskipun ia memberikan bacaan doa ataupun ayat al-Qur’an, apalagi jasanya diperjual-belikan secara komersial, maka hukumnya menjadi haram. Dalam hal ini berlaku untuk semua jenis pengobatan alternatif termasuk masalah pengobatan santet dan sihir.
Semoga Allah menyelamatkan umat Islam dari bahaya syirik dan kebodohan serta mendapatkan pertolongan, perlindungan, hidayah dan taufiq serta kesembuhan yang benar dari-Nya karena hanya Dialah Yang Maha Kuasa dan sebaik-baik tempat bergantung dan mengharap.
Kemanjuran dan kenyataan empirik ataupun pengalaman nyata sesuatu tidak otomatis menjadi bukti kebenarannya, sebab hal itu boleh jadi merupakan ujian iman, istidraj (perangkap Allah bagi orang-orang yang dimurkai-Nya melalui keberhasilan), atau sebenarnya adanya ‘kesembuhan’ itu lebih disebabkan karena sugesti, obsesi, atau ilusi dan bukan sesuatu yang hakiki. Hal itu sebagaimana pengalaman empiris sebelumnya dari beberapa sahabat yang menggunakan khamer untuk diminum sebagai pengobatan, maka nabi melarangnya dengan menegaskan: “Sesungguhnya ia bukannya obat melainkan penyakit.” (HR.Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi) Bahkan dalam riwayat lain Nabi justru mendo’akan orang yang melakukan pengobatan haram tersebut agar Allah tidak menyembuhkannya.(HR.As-Suyuthi)
Dengan demikian, jika orang yang dianggap pintar tersebut sebenarnya adalah orang shalih, taat ibadah, akidahnya lurus dan tidak komersial serta pengobatannya sesuai dengan ketentuan tersebut di atas, maka hal itu dibolehkan dengan tetap meyakini bahwa yang memberikan kesembuhan adalah Allah melalui perantaraan doa ikhlas dari orang shalih maupun diri sendiri berdasarkan doa dan ayat-ayat al-Qur’an.